Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

Sleeping Princess


Sleeping Princess

Pagi ini cuaca tidak bersahabat. Awan hitam menguasai kerajaan langit di atas sana. Listrik alami menyambar-nyambar tidak karuan. Membuat sang penghuni planet biru ini semakin malas untuk beraktifitas. Tidak terkecuali Dhira, Andhira Gautama tepatnya. Walaupun sedari tadi Mamanya telah mengganggunya dari tidur panjangnya en dia emang pantas di julukin si putri tidur. Bedanya kalau putri tidur yang kaya di cerita bisa bangun kalau dicium sama pangeran. Tapi kalau yang ini, di ciumin sama kaos kaki yang nggak pernah di cuci selama satu abad baru bisa bangun.
“Dhira, bangun sayang!” perintah Mama Dhira dengan halus. Tak ada reaksi, Dhira cuma menggeliat.
“Dhir, ini udah jam enam, kamu kan harus pergi ke sekolah. Ntar telat lho!” perintah Mama Dhira sekali lagi, kali ini ia menggoncangkan tubuh Dhira. Tetap tak ada reaksi. Lalu ia membuka korden jendela kamar  Dhira. Tapi nggak sama jendelanya, karena hujannya deras banget. Di luar juga tampak gelap. Mama Dhira nggak nyerah, ia membuka selimut yang menutupi Dhira.
Dhira, bangun!”
“Ntar dulu napa sih Ma. Dhira kan masih ngantuk, lagian juga belum pagi. Mama tuh gimana sih. Mama tidur dulu aja sana!, ntar kalo’ udah pagi baru deh banguni Dhira.” Dhira nyerocos tapi matanya masih merem.
“Dhira kamu denger nggak sih? ini tu udah jam enam.”
“Mama ngaco nih, orang masih gelap gini.”
“Dhira, kamu tuh males banget sih?! liat nih!” Mama Dhira memperlihatkan ponselnya pada Dhira. Dengan malas Dhira ngeliatnya. Mata Dhira terbelalak kaget.
“Hah?!! kenapa Mama nggak bilang dari tadi sih?” Dhira meloncat dari tempat tidur dan langsung pergi ke kamar mandi. Mama Dhira yang menyaksikan kejadian tersebut cuma bisa geleng-geleng kepala. Karena udah jadi kegiatan rutin Dhira bangun siang.
“Ma, Dhira berangkat dulu.” Dhira mencium tangan Mamanya dan cipika-cipiki. Habis itu dia langsung ngeloyor pergi.
“Sarapan dulu dong, ntar perutnya sakit.” Ingat Mamanya.
“Ntar aja Ma di sekolah, Dhira udah telat banget nih.” Dhira berlari kecil ke bagasi. Sekali lagi Mamanya nggak bisa berbuat apa-apa untuk anak tunggalnya itu.
                                                                        ***
Dhira sampai di sekolah dan langsung memarkirkan Vios-nya. Seseorang memanggilnya dari belakang.
“Dhir, tunggu!”
“Inez, ada apa?”
“Eh, lo udah denger kabar belom?” tanya Inez.
“Kabar, kabar apa?” Dhira balik tanya.
“Aduh, masa lo nggak ngerti sih.”
“Duh, udah deh! Ntar ajah, gue buru-buru banget nih. Gue belom ngerjain PR gue ke kelas dule yah.” Dhira berlalu.
“Eh Dhir, tunggu Dhir.” Inez mengejarnya. Tapi Dhira jalannya cepet banget. Inez jadi males ngejarnya.
Dhira bingung sendiri, soalnya sepanjang perjalanan ke kelasnya orang-orang melihatnya dengan aneh, Dhira nggak ngerti apa maksud mereka. Tapi Dhira tetep berusaha enjoy dan berusaha tersenyum ke temen-temennya. Sampai di mading Dhira ngeliat sekerumunan orang, Dhira penasaran dan mendekatinya. Kerumunan itu kemudian menyebar demi melihat Dhira. Dhira melihat mading tersebut dan bukan main kagetnya.
“Apa-apaan nih?!” seru Dhira dan langsung menyobek kertas yang ada di mading tersebut. Semua orang yag ada di sekitar mading tersebut menyoraki Dhira.
“Alah, tampang lo aja yang sok cakep. Molor aja digede-gedein. Hahaha…” salah satu dari mereka ngejek Dhira. Ternyata kertas itu berisi foto Dhira pas lagi tidur en ngiler di atas pohon jambu di belakang rumahnya, yang merupakan salah satu koleksi foto-foto uniknya. Padahal itu kan rahasia, tapi siapa yang nyebarin foto itu ya? Muka Dhira memerah menahan rasa amarah dan juga malu. Dhira berjalan cepat ke kelasnya diiringi ejekan dari teman-temannya sepanjang koridor. Tiba-tiba ada sebuah kaki yang melintang di depan Dhira, Dhira tidak melihatnya. Lalu ia tersandung kaki tersebut dan jatuh, semua temannya tambah terbahak-bahak ngeliat kejadian tersebut. Dhira meringis sambil megang lututnya yang sakit. Sebuah uluran tangan di depan mukanya. Dhira menyambut tangan itu. Nico, pacarnya Dhira.
“Lo nggak pa-pa kan?” tanya Nico. Dhira hanya menggelengkan kepalanya.
“Eh, sang pangeran penolong dateng tuh, nolongin putri tidur tercinta. Haha…” seorang lagi mengejek Dhira. Mereka terus tertawa dan sesekali mengejek Dhira. Nico geram.
“Eh, diem kalian! orang jatoh bukannya ditolongin malah diketawain. Kalian tuh banci semua tahu!” Nico menunjuk ke cowok-cowok yang ada di tempat itu. Dhira nggak tahan, dia lari ke kelasnya. Nico mengejarnya tapi bell berbunyi, dia mengurungkan niatnya dan memilih pergi ke kelasnya. Mereka berdua emang beda satu kelas. Dhira kelas 11 sedangkan Nico kelas 12.
“Dhir, lo nggak apa-apa kan?” tanya Inez di depan pintu kelas. Dhira nggak menjawab, ia langsung masuk dan duduk di tempatnya. Inez mengikutinya, semula dia pengin ngajak ngobrol sama Dhira. Tapi nggak jadi soalnya guru matematika, Pak Zainal udah masuk.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi pak!”
“Sekarang kumpulkan buku tugas kalian, yang tidak membawa silahkan tinggalkan kelas ini!”
Baru deh! Dhira kelabakan. Dhira belum ngerjain tugas en nggak bawa buku tugasnya lagi.
Nez, Nez! Inez gimana nih?” tanya Dhira setengah berbisik, Dhira kelihatan sangat gusar.
“Kenapa Dhir?”
“Gue nggak bawa, mana belom gue kerjain lagi.” Kata Dhira, Inez bingung. Semua udah pada ngumpulin, mau nggak mau Inez juga harus ngumpulin kalau nggak mau dikeluarkan dari kelas.
“Dhira, mana buku tugas kamu?” tanya Pak Zainal.
“Engh… Eh, saya….sa…”
“Silahkan tinggalkan tempat ini!” perintah Pak Zainal dengan kerasnya.
“Eh, e…tapi kan pak…” Dhira mencoba melawan.
“Keluar sekarang juga!” bentak Pak Zainal. Dhira nggak bisa apa-apa, dengan berat hati Dhira keluar dari kelas tersebut. ‘Sial!’, batin Dhira.
Dhira  berjalan di taman sambil melamun memikirkan nasibnya yang malang. Dhira mikirin pacarnya yang dikira bakal illfeel dengannya karena foto yang dipajang di mading tadi. Dhira juga mikir nilai matematikanya.
“Siapa sih yang masang foto gue? dan kenapa juga gue pake acara lupa ngerjain tugas tadi malem?!” Dhira menggerutu, lalu tanpa sadar ia menghempaskan badannya ke kursi taman. Seketika kursi itu langsung ambruk, lagi-lagi Dhira kena sial. Anak-anak yang sedang bermain basket tertawa melihatnya. Lapangan basket emang terletak di depan taman sekolah.
Auu!!” teriaknya. Sekali lagi muka Dhira merah nahan malu, ia langsung bangkit dan pergi dari tempat itu.
Bell berbunyi tanda pelajaran telah usai. Temen-temen sekelas Dhira udah pada pulang, namun Dhira masih berada di tempat.
“Dhir, pulang yuk!” ajak Inez.
“Ntar dulu deh, lo duluan aja sana.” Jawab Dhira agak males.
“Udah Dhir, nggak usah dipikirin napa sih?”
“Ngomong gampang Nez, gue tu cuma bingung gimana gue ntar ama Nico. Gue takut kalo’ tiba-tiba ntar dia mutusin gue gimana dong?”
“Yah elu, gitu aja dipikirin neng. Nih ya gue bilangin, kalo’ Nico emang bener-bener sayang sama elo dia nggak akan bakal ninggalin lo cuma gara-gara masalah sepele kaya gitu.”
“Sepele gimana? tengsin tau!” Dhira manyun.
“Lo kemana aja sih Dhir, dicariin ngilang aja?” tiba-tiba suara Nico memotong pembicaraan mereka berdua. Spontan Dhira dan Inez nengok ke arah Nico. Dhira gelagapan. Tanpa permisi Nico langsung duduk di sebelah Dhira.
“Gue duluan ya.” Inez pamit dan melambaikan tangan sambil memasang wajah jailnya.
“Lo kenapa sih Dhir?” tanya Nico sekali lagi.
“Ng-ng… aku nggak pa-pa kok.” Jawab Dhira masih gelagapan namun mencoba ceria.
“Terus ngapain tadi lo gue cariin ngilang nggak jelas?” Nico menatap Dhira.
“Tadi tu gue…” belum sempat Dhira melanjutkan omongannya, Nico memotongnya.
“Oh iya, tadi gue sempet denger lo bicara sama Inez kalo’ lo tu tengsin sama gue gara-gara kejadian tadi.” Kata Nico. Dhira kaget dan diam seribu bahasa. Nico meraih tangan Dhira.
“Dhir, gue tu cinta ama elo. Gue emang bener-bener sayang ama lo. Cinta tu nggak ngeliat baik buruknya sifat orang. Cinta tu cinta yang muncul dari hati yang terdalam dan nggak ada sebab kenapa cinta itu muncul. Jadi kalo’ gue bakal mutusin lo cuma gara-gara kejadian tadi, lo salah besar. Gue bukan tipe cowok yang seenaknya aja bisa mainin perasaan cewek.” Jelas Nico panjang lebar.
“Bukan itu maksud gue tapi…”
“Udah lah Dhir, sekarang tu buang jauh-jauh sifat gengsi lo itu. Apalagi sama gue,” kata Nico.
Mereka bertatapan lalu berpelukan.
            “Makasih ya Nic, lo emang bener-bener yang terbaik buat gue. Gue sayang sama elo.”
            “Apa lagi gue Dhir.” Nico menghela nafas panjang.
                                                                        ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar