Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

Love and Friendship

Dari pada nih cerpen nganggur, mendingan posting aja deh disni. Selamat membacaa... abis itu kasih komentar yaahh_ :)




LOVE AND FRIENDSHIP

Daun-daun berguguran diterpa angin yang diiringi oleh sinar kuning kemerahan di ufuk barat. Semerbak karangan bunga yang segarpun masih dirasakan. Terpampang sebuah kayu persegi panjang yang bertuliskan “Vyandra Alvano, 13 September 1991-7 Desember 2010”. Xeina, itulah nama seorang gadis yang sedari tadi menangis dan memeluk benda putih bercorak hitam tersebut. Meratapinya dengan penuh sesal, hatinya begitu teriris saat mengingat hari kemarin. Ia telah mengecewakannya. Langitpun seolah-olah ikut berbela sungkawa atas kepergiannya. Sangat singkat dan mendadak. Tiada seorangpun yang mengira Vyandra, seorang atlet basketball yang notabennya gagah itu harus meninggalkan dunia secepat ini. Namun tidak hanya itu dia menangis, memang sesal di akhir tiadalah berguna. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, tak bisa dipungkiri kalau dia memang mempunyai perasaan yang sama terhadap Vyandra.
“Vyan, kenapa harus secepat ini?, kenapa… Aku nyesel Vyan, aku nyesel….maafin aku Vyan, aku nggak bisa buat kamu ngerasa bahagia di saat terakhir kamu… karena aku nggak nyangka kamu bakal pergi secepet ini.” katanya dengan terisak-isak.
Teringat dalam memori otaknya…

Sabtu, 4 Desember 2010,
“Xei, besok lo ada acara nggak?” tanya Vyan sambil menepuk pundak Xeina dari belakang dan itu membuatnya terkejut.
“Eh Vy!, ng…gue…, kayaknya besok gue mesti nganterin nyokap gue shoping gitu deh, emang kenapa?”
“Xei, gue mohon lo mau gasih kesempatan sekali… aja,”  Vyan memohon.
“Aduh, gimana ya!” Xenia mencoba mengelak.
“Pliss….” Xenia tidak tega dengan Vyan yang memohon kepadanya, dia pun mau. Sebenarnya dia senang sekali dengan tawaran Vyon, ia hanya berusaha menyembunyikan perasaan senangnya.

Minggu 5 Desember 2010,
Di sebuah gedung tua yang rusak dan sudah lama tidak dipakai, menjadi tempat yang strategis untuk menenangkan diri. Di lantai paling atas bisa untuk melihat pemandangan kota yang ramai dan gemerlap saat malam hari. Sepuluh menit,lima belas menit, tiga puluh menit, dan satu jam sudah Vyan menunggu Xenia, tetapi ia tak kunjung  datang. Namun Vyan msih berharap tambatan hatinya itu akan menepati janjinya walaupun tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan datang. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati Vyan, Xenia!, ia kelihatan tergesa-gesa.
“Vyon sorry gue telat, tadi di jalan macet banget,” Xenia sedikit beralasan.
“Nggak apa-apa kok, walaupun seribu tahun lagi gue harus nunggu lo disini gue bakal nglakuin itu.”
Deg!!, hati Xenia sungguh teriris ketika ingat kata-kata itu. Ia hanya terpaku memandang Vyan yang entah kenapa hari ini ia terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya nampak pucat.
            “Vy, lo sakit ya?” tanya Xenia kepada Vyan.
            “Nggak,” jawab Vyan singkat tanpa memandang Xenia, menerawang ke langit biru yang dihiasi awan putih yang menari-nari. Kemudian hening kembali, hanyalah suasana hiruk pikuk kota dan deru mobil yang terdengar samar-samar. Beberapa menit kemudian, suara Vyan memecah keheningan.
            “Xei, mungkin lo udah tau apa maksud gue ngajakin lo kesini dan lo pasti udah bosen banget.” Kata Vyan sambil memainkan kalung yang berliontinkan sebuah benda berbentuk love.
            “Tapi gue nggak kan menyerah, gue akan berusaha dan menanti sampe lo mau nerima  gue,” ia menambahkan.
            Xenia diam, melamun. Membayangkan apa yang sebenarnya menjadi penghalangnya untuk menerima Vyan. Cintya, ya Cintya. Ia adalah sahabat karibnya Xenia. Mereka juga tinggal dalam satu kost. Cintya sangat mengagumi Vyandra, dan dimana saja mereka bertemu Cintya akan bercerita tentang Vyandra. Ia tidak ingin mengecewakan sahabatnya itu, ia tidak pernah bilang dengan Cintya kalau Vyan mencintainya. Sekarang, Cintya terbaring lemah di rumah sakit karena gagal ginjal yang di deritanya. Dan Vyan sudah tahu hal tersebut.
            “Xeina…” panggil Vyan dengan suara yang lembut.
            “Ehhhh Vy…” Xeina tersadar dari lamunannya.
            “Lo kenapa?” tanya Vyan.
            “Ng…gue ng-gak pa-pa kok,” jawab Xeina agak gugup.
            “Terus gimana?”
            “Gimana, gimana apanya?” Xeina balik bertanya pura-pura bingung. Vyan menatapnya dalam-dalam.
            “Xeina…” panggil Vyan sekali lagi.
            “Ng….gue, gue… Cintya Vy…” Xeina berkata dengan tergagap.
            “Gue tahu lo sahabatan sama Cintya tapi bukan berarti lo harus ngorbain semuanya buat dya. Termasuk cinta elo!” Vyan berkata dengan nada tinggi.
Suasana kembali hening. Vyan kembali menerawang ke langit.
            “Gue tau lo juga punya perasaan yang sama ke gue. Gue sayang banget sama elo Xei, bukannya gue egois tapi gue emang bener-bener nggak bisa hidup tanpa lo, gue mohon Xei!”
            “Tapi gue bener-bener nggak bisa Vy, gue…gu…gu…e...” Xenia sudah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Ia hanya menunduk, menahan tangis. Vyan mendekap Xenia ke dalam pelukannya.
            “Maafin gue Xei, sekali lagi bukannya gue egois dan pengin menang sendiri. Tapi gue emang bener-bener sayang ama lo, bukan Cintya. Asal lo tahu, sesulit apapun rintangan yang ngehalangin gue buat ngedapetin elo. Gue akan ngelakuin itu semua.” Vyan melepaskan pelukannya.
            “Gue harap besok gue bakal ngeliat lo pake kalung ini sebagai tanda kalo’ lo mau nerima gue,” kata Vyan sambil memberikan kalung yang dimain-mainkannya tadi. Lalu ia berlalu, sementara pikiran Xenia tambah kalut. Ia bingung dengan siapa yang harus ia pilih, sahabat atau cintanya.

            Senin 6 Desember 2010,
            Xenia bangun kesiangan gara-gara semalaman suntuk ia tidak tidur memikirkan hal yang sama. Alhasil ia lupa membawa kalung yang diberi oleh Vyan tadi sore, ia sudah memutuskan untuk memilih cintanya. Tetapi ia baru tersadar saat bel pulang sekolah berbunyi. Ia berjalan dengan resah dan gelisah, ia tidak tahu harus bicara apa dengan Vyan.
            “Xeina…” ada sebuah suara yang sangat ia kenal memanggil namanya. Vyan!, pikirannya tambah kalut. Ia membalikkan badannya.
            “Vyan!”
            Vyan tidak menjawab, ia memperhatikan leher Xeina dan nampak jelas gurat kecewa di wajahnya . Xeina sadar, ia gugup.
            “Vy,gue bisa jelasin ini sem…” belum selesai Xeina bicara Vyan sudah memotongnya.
            “Gue udah tau lo nggak bakal pake kalung itu. Harusnya gue sadar kalo’ lo nggak akan pernah nerima gue,” Vyan berlalu dengan sangat cepat.
            “Vy, tunggu Vy…” Xenia berlari mengejar Vyan. Namun ia kurang cepat, mobil yang dikendarai Vyan sudah melesat dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Xenia terduduk lemas dan menangis. Tidak tahu kenapa tiba-tiba perasaannya tidak enak.
“APAA??!!”
’Brakkkk!!!’,suara handphone terjatuh di lantai.
            “Nggak mungkin, nggak mungkin!” Xenia menangis terisak-isak. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat berat, seperti mengangkat beban berton-ton. Lalu ia melihat bintang-bintang di atas kepalanya dan di antara bintang-bintang itu ada secercah cahaya yang begitu terang, lalu cahaya itu dengan cepat menghilang, gelap.
***
            Langit mulai meneteskan airnya, rintik-rintik mulai membasahi tubuh Xenia, namun ia belum berhenti dari tangisnya. Ia mencium kalung yang diberi Vyan. Menyesal, sangat menyesal.
            “MAAFIN GUE VYAN, MAAFIN GUE!, GUE CINTA SAMA LO, GUE SAYANG SAMA LO!, LO DENGER KAN?!” Xeina menatap ke langit.
            Tiba-tiba ada yang nenubruknya dari belakang, Cintya. Ia memeluknya erat-erat sambil menangis.
            “Maafin gue Xei…” kata Cintya sambil menangis tersedu-sedu. Xenia membalikkan badannya.
            “Cintya?!”
            “Maafin gue…” Cintya memohon.
            “Cin, kenapa lo minta maaf sama gue, lo kan nggak salah apa-apa.”
            “Tapi gara-gara gue ini semua terjadi. Coba kalo’ dari dulu lo ngomong sejujurnya sama gue, lo bilang kalo Vyan cinta sama lo. Lo tu nggak perlu ngorbanin semuanya demi gue, apa lagi cinta lo.”
            “Cin, lo ngomong apa sih?” Xenia mencoba bersikap tenang walaupun ia penasaran kenapa Cintya bisa tahu semuanya.
            “Gue udah tahu semuanya Xei…”
            “Cin, cinta tu bukan segalanya. Lo tu sahabat gue, gue sayang sama lo.”
“Udah lah…lo tu nggak perlu kaya gitu. Jadinya gini kan?, lo nggak dapet apa-apa hanya demi gue.”
            “Cin…udahlah, semua ini udah terjadi. Gimana lagi?, itu emang takdir.”
            “Tapi Xei…”
            “Udah Cin…ayo kita pergi dari sini, baju lo udah basah kuyup gini. Ntar kalo lo ujan-ujanan terus tambah sakit,” mereka melepaskan pelukannya.
“Maafin gue ya…” pinta Cintya sekali lagi, Xeina hanya tersenyum dan mengajaknya pulang.
***

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar