Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

Sleeping Princess


Sleeping Princess

Pagi ini cuaca tidak bersahabat. Awan hitam menguasai kerajaan langit di atas sana. Listrik alami menyambar-nyambar tidak karuan. Membuat sang penghuni planet biru ini semakin malas untuk beraktifitas. Tidak terkecuali Dhira, Andhira Gautama tepatnya. Walaupun sedari tadi Mamanya telah mengganggunya dari tidur panjangnya en dia emang pantas di julukin si putri tidur. Bedanya kalau putri tidur yang kaya di cerita bisa bangun kalau dicium sama pangeran. Tapi kalau yang ini, di ciumin sama kaos kaki yang nggak pernah di cuci selama satu abad baru bisa bangun.
“Dhira, bangun sayang!” perintah Mama Dhira dengan halus. Tak ada reaksi, Dhira cuma menggeliat.
“Dhir, ini udah jam enam, kamu kan harus pergi ke sekolah. Ntar telat lho!” perintah Mama Dhira sekali lagi, kali ini ia menggoncangkan tubuh Dhira. Tetap tak ada reaksi. Lalu ia membuka korden jendela kamar  Dhira. Tapi nggak sama jendelanya, karena hujannya deras banget. Di luar juga tampak gelap. Mama Dhira nggak nyerah, ia membuka selimut yang menutupi Dhira.
Dhira, bangun!”
“Ntar dulu napa sih Ma. Dhira kan masih ngantuk, lagian juga belum pagi. Mama tuh gimana sih. Mama tidur dulu aja sana!, ntar kalo’ udah pagi baru deh banguni Dhira.” Dhira nyerocos tapi matanya masih merem.
“Dhira kamu denger nggak sih? ini tu udah jam enam.”
“Mama ngaco nih, orang masih gelap gini.”
“Dhira, kamu tuh males banget sih?! liat nih!” Mama Dhira memperlihatkan ponselnya pada Dhira. Dengan malas Dhira ngeliatnya. Mata Dhira terbelalak kaget.
“Hah?!! kenapa Mama nggak bilang dari tadi sih?” Dhira meloncat dari tempat tidur dan langsung pergi ke kamar mandi. Mama Dhira yang menyaksikan kejadian tersebut cuma bisa geleng-geleng kepala. Karena udah jadi kegiatan rutin Dhira bangun siang.
“Ma, Dhira berangkat dulu.” Dhira mencium tangan Mamanya dan cipika-cipiki. Habis itu dia langsung ngeloyor pergi.
“Sarapan dulu dong, ntar perutnya sakit.” Ingat Mamanya.
“Ntar aja Ma di sekolah, Dhira udah telat banget nih.” Dhira berlari kecil ke bagasi. Sekali lagi Mamanya nggak bisa berbuat apa-apa untuk anak tunggalnya itu.
                                                                        ***
Dhira sampai di sekolah dan langsung memarkirkan Vios-nya. Seseorang memanggilnya dari belakang.
“Dhir, tunggu!”
“Inez, ada apa?”
“Eh, lo udah denger kabar belom?” tanya Inez.
“Kabar, kabar apa?” Dhira balik tanya.
“Aduh, masa lo nggak ngerti sih.”
“Duh, udah deh! Ntar ajah, gue buru-buru banget nih. Gue belom ngerjain PR gue ke kelas dule yah.” Dhira berlalu.
“Eh Dhir, tunggu Dhir.” Inez mengejarnya. Tapi Dhira jalannya cepet banget. Inez jadi males ngejarnya.
Dhira bingung sendiri, soalnya sepanjang perjalanan ke kelasnya orang-orang melihatnya dengan aneh, Dhira nggak ngerti apa maksud mereka. Tapi Dhira tetep berusaha enjoy dan berusaha tersenyum ke temen-temennya. Sampai di mading Dhira ngeliat sekerumunan orang, Dhira penasaran dan mendekatinya. Kerumunan itu kemudian menyebar demi melihat Dhira. Dhira melihat mading tersebut dan bukan main kagetnya.
“Apa-apaan nih?!” seru Dhira dan langsung menyobek kertas yang ada di mading tersebut. Semua orang yag ada di sekitar mading tersebut menyoraki Dhira.
“Alah, tampang lo aja yang sok cakep. Molor aja digede-gedein. Hahaha…” salah satu dari mereka ngejek Dhira. Ternyata kertas itu berisi foto Dhira pas lagi tidur en ngiler di atas pohon jambu di belakang rumahnya, yang merupakan salah satu koleksi foto-foto uniknya. Padahal itu kan rahasia, tapi siapa yang nyebarin foto itu ya? Muka Dhira memerah menahan rasa amarah dan juga malu. Dhira berjalan cepat ke kelasnya diiringi ejekan dari teman-temannya sepanjang koridor. Tiba-tiba ada sebuah kaki yang melintang di depan Dhira, Dhira tidak melihatnya. Lalu ia tersandung kaki tersebut dan jatuh, semua temannya tambah terbahak-bahak ngeliat kejadian tersebut. Dhira meringis sambil megang lututnya yang sakit. Sebuah uluran tangan di depan mukanya. Dhira menyambut tangan itu. Nico, pacarnya Dhira.
“Lo nggak pa-pa kan?” tanya Nico. Dhira hanya menggelengkan kepalanya.
“Eh, sang pangeran penolong dateng tuh, nolongin putri tidur tercinta. Haha…” seorang lagi mengejek Dhira. Mereka terus tertawa dan sesekali mengejek Dhira. Nico geram.
“Eh, diem kalian! orang jatoh bukannya ditolongin malah diketawain. Kalian tuh banci semua tahu!” Nico menunjuk ke cowok-cowok yang ada di tempat itu. Dhira nggak tahan, dia lari ke kelasnya. Nico mengejarnya tapi bell berbunyi, dia mengurungkan niatnya dan memilih pergi ke kelasnya. Mereka berdua emang beda satu kelas. Dhira kelas 11 sedangkan Nico kelas 12.
“Dhir, lo nggak apa-apa kan?” tanya Inez di depan pintu kelas. Dhira nggak menjawab, ia langsung masuk dan duduk di tempatnya. Inez mengikutinya, semula dia pengin ngajak ngobrol sama Dhira. Tapi nggak jadi soalnya guru matematika, Pak Zainal udah masuk.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi pak!”
“Sekarang kumpulkan buku tugas kalian, yang tidak membawa silahkan tinggalkan kelas ini!”
Baru deh! Dhira kelabakan. Dhira belum ngerjain tugas en nggak bawa buku tugasnya lagi.
Nez, Nez! Inez gimana nih?” tanya Dhira setengah berbisik, Dhira kelihatan sangat gusar.
“Kenapa Dhir?”
“Gue nggak bawa, mana belom gue kerjain lagi.” Kata Dhira, Inez bingung. Semua udah pada ngumpulin, mau nggak mau Inez juga harus ngumpulin kalau nggak mau dikeluarkan dari kelas.
“Dhira, mana buku tugas kamu?” tanya Pak Zainal.
“Engh… Eh, saya….sa…”
“Silahkan tinggalkan tempat ini!” perintah Pak Zainal dengan kerasnya.
“Eh, e…tapi kan pak…” Dhira mencoba melawan.
“Keluar sekarang juga!” bentak Pak Zainal. Dhira nggak bisa apa-apa, dengan berat hati Dhira keluar dari kelas tersebut. ‘Sial!’, batin Dhira.
Dhira  berjalan di taman sambil melamun memikirkan nasibnya yang malang. Dhira mikirin pacarnya yang dikira bakal illfeel dengannya karena foto yang dipajang di mading tadi. Dhira juga mikir nilai matematikanya.
“Siapa sih yang masang foto gue? dan kenapa juga gue pake acara lupa ngerjain tugas tadi malem?!” Dhira menggerutu, lalu tanpa sadar ia menghempaskan badannya ke kursi taman. Seketika kursi itu langsung ambruk, lagi-lagi Dhira kena sial. Anak-anak yang sedang bermain basket tertawa melihatnya. Lapangan basket emang terletak di depan taman sekolah.
Auu!!” teriaknya. Sekali lagi muka Dhira merah nahan malu, ia langsung bangkit dan pergi dari tempat itu.
Bell berbunyi tanda pelajaran telah usai. Temen-temen sekelas Dhira udah pada pulang, namun Dhira masih berada di tempat.
“Dhir, pulang yuk!” ajak Inez.
“Ntar dulu deh, lo duluan aja sana.” Jawab Dhira agak males.
“Udah Dhir, nggak usah dipikirin napa sih?”
“Ngomong gampang Nez, gue tu cuma bingung gimana gue ntar ama Nico. Gue takut kalo’ tiba-tiba ntar dia mutusin gue gimana dong?”
“Yah elu, gitu aja dipikirin neng. Nih ya gue bilangin, kalo’ Nico emang bener-bener sayang sama elo dia nggak akan bakal ninggalin lo cuma gara-gara masalah sepele kaya gitu.”
“Sepele gimana? tengsin tau!” Dhira manyun.
“Lo kemana aja sih Dhir, dicariin ngilang aja?” tiba-tiba suara Nico memotong pembicaraan mereka berdua. Spontan Dhira dan Inez nengok ke arah Nico. Dhira gelagapan. Tanpa permisi Nico langsung duduk di sebelah Dhira.
“Gue duluan ya.” Inez pamit dan melambaikan tangan sambil memasang wajah jailnya.
“Lo kenapa sih Dhir?” tanya Nico sekali lagi.
“Ng-ng… aku nggak pa-pa kok.” Jawab Dhira masih gelagapan namun mencoba ceria.
“Terus ngapain tadi lo gue cariin ngilang nggak jelas?” Nico menatap Dhira.
“Tadi tu gue…” belum sempat Dhira melanjutkan omongannya, Nico memotongnya.
“Oh iya, tadi gue sempet denger lo bicara sama Inez kalo’ lo tu tengsin sama gue gara-gara kejadian tadi.” Kata Nico. Dhira kaget dan diam seribu bahasa. Nico meraih tangan Dhira.
“Dhir, gue tu cinta ama elo. Gue emang bener-bener sayang ama lo. Cinta tu nggak ngeliat baik buruknya sifat orang. Cinta tu cinta yang muncul dari hati yang terdalam dan nggak ada sebab kenapa cinta itu muncul. Jadi kalo’ gue bakal mutusin lo cuma gara-gara kejadian tadi, lo salah besar. Gue bukan tipe cowok yang seenaknya aja bisa mainin perasaan cewek.” Jelas Nico panjang lebar.
“Bukan itu maksud gue tapi…”
“Udah lah Dhir, sekarang tu buang jauh-jauh sifat gengsi lo itu. Apalagi sama gue,” kata Nico.
Mereka bertatapan lalu berpelukan.
            “Makasih ya Nic, lo emang bener-bener yang terbaik buat gue. Gue sayang sama elo.”
            “Apa lagi gue Dhir.” Nico menghela nafas panjang.
                                                                        ***

Rimoi and Juile


Rimoi and Juile
            Embun membasahi pagi ini yang begitu cerah. Kicau burung yang merdu menambah dunia ini terasa lebih indah bagi Juile. Juile jadi tambah semangat jalan kaki ke sekolahnya. Jarak dari rumah ke sekolahnya cukup dekat, jadi juile nggak perlu naik mobil mewahnya buat pergi ke sekolah.
            “Hay guys!” sapa Juile kepada temen-temennya di sekolah.
            “Eh, lo Jul. Tumben banget lo berangkatnya siang banget gini, ini kan baru jam 7 kurang. Hi…hi…” kata Cerin sambil tertawa mengejek.
            “Ye…nyindir lo! emangnya lo doang yang bisa berangkat pagi.” Juile manyun.
            “Idih, bagus banget tu mulut ampe bisa dijual ke toko barang-barang antik noh! Ha..ha..” ketawa Cerin makin kenceng.
            “Apa-an sih lo Cer! ribut aja deh! Sekalian ajah buat tokonya. Biar cepet laku tu barang antiknya.” Juile tambah manyun.
            “Oh ya ya! lo ko’ pinter sih? tumben. Kalo’ tokonya antik kan buat penglaris. Lagian juga bibir lo gede, jadi bisa dijadiin toko,ha…ha…” Cerin makin menjadi-jadi.
            “Emangnya bibir gue bahan material apa? gini-gini bibir gue sensual tau!” Juile membela diri.
            “Ih amit- amit deh, masih seksi bibir gue! haha… Eh, lu udah ngerjain tugasnya Bu Linda belum?” Cerin mengalihkan pembicaraan.
            “Udah dong… Eh tapi bentar dulu deh.” Juile meraba-raba isi tasnya.
            “Cer, aduh Cer! gimana ni?” Juile kelabakan sendiri tanpa di aba-aba ( ya iyalah, emangnya PBB perlu di aba-aba?).
            “Kenapa Jui?” Cerin bigung sebingung-bingungnya bingung ( nah, gimana tuh?).
            “Buku gue…Heh…” Juile hampir pingsan ketika tau buku biologinya nggak dibawa, mana waktunya  udah mepet lagi, Bu Linda jadwalnya jam pertama. Kebayang deh wajah Bu  Linda yang kalo’ lagi marah mukanya merah menahan amarah apalagi kalo’ di kasih obat merah (apa hubungannya?!). Bu Linda emang terkenal guru yang killer di sekolah Juile. Pernah ada muridnya yang Cuma ngelakuin salah yang kecil dihukum yang seberat-beratnya sesuai pasal 7 ayat 9 (pengadilan kali…pake pasal-pasal segala). Yah, pokoknya killernya nggak ketulungan. Semua murid SMA 19 takut dengan Bu Linda, terutama kelas exact. Soalnya Bu Linda kan ngajar biologi, masa mau masuk kelas bahasa?.
            “Tet…Tet…” bel berbunyi. Juile tambah kelabakan.
            “Aduh… gimana ni Cer? bantuin gue donk!”
            “Gimana dong Jui, gue juga nggak tau…” Cerin ikut bingung.
Semua anak yang ada di kelas diam. Ternyata Bu Linda sudah ada di depan kelas, mimik wajahnya nggak seperti biasanya. Bu Linda kelihatan lebih ramah, entah ada apa gerangan. Bu Linda mengucapkan salam, semua anak menjawab serempak.
            “Anak-anak, hari ini kalian akan mendapatkan teman baru, ia baru pindah dari Bandung.” Kata Bu Linda. Tiba-tiba sesosok orang muncul dari balik pintu sederhana yang terbuat dari kayu tersebut ( soalnya kalo’ pake emas jadinya mewah). Juile yang sedari tadi agak gugup, sekarang mendadak kaget oleh kehadiran manusia tersebut. Sepertinya Juile tidak asing lagi melihat wajah manusia itu, ngerasa seperti pernah kenal sebelumnya.
            “Ya anak-anak, ini teman baru kalian. Silahkan perkenalkan dirimu nak!” perintah Bu Linda dengan manisnya. Murid baru itu mengangguk tanda setuju.
            “Teman-teman perkenalkan nama saya Rimoi Affandi. Saya pindah dari Bandung ke Jakarta mengikuti orangtua saya yang pindah tugas di Jakarta.” Rimoi tersenyum dan memandang ke sekeliling ruangan tersebut. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Juile. Mereka saling berpandangan dan salah tingkah. Rimo pun tidak kalah terkejutnya ketika melihat sesosok Juile.
            “Ya, ibu mohon kalian bisa menerima Rimo dan kamu Rimo selamat bersekolah di SMA 19 ini .” Kata Bu Linda bijaksana. Rimo mengangguk dan tersenyum.
            “Sekarang kamu boleh duduk di tempat duduk kosong di sebelah sana.” Bu Linda melanjutkan sambil menunjuk ke bangku yang kosong.
            “Terimakasih Bu.” Kata Rimo sambil tersenyum kepada Bu Linda.
            Nggak tau kenapa sejak cowok itu masuk ke kelas hati Juile deg-degan terus (tandanya Juile tu hidup, kalo’ nggak deg-degan berarti Juile udah mati). Juile bengong, memikirkan siapa cowok itu yang kayaknya pernah dikenalnya dulu. Nggak terasa jam pelajaran Bu Linda udah selesai. Tugas pun nggak jadi dikumpulkan, karena Bu Linda sibuk memperhatikan murid baru itu.
            Istirahat telah tiba, murid-murid pada ribut karena osis bakal mengadakan prom night “party of mask ” buat ultah SMA 19 yang ke 25 dan murid-murid diwajibkan memakai topeng pada saat acara tersebut ( secara judulnya mask, berarti emang harus pake topeng). Juile dan Cerin sahabatnya juga nggak kalah ribut.
            “Wah Cer, dua hari lagi prom night dilaksanain.” Kata Juile
            “Iya Jui, gue seneng banget deh. Pasti ntar acaranya seru!, akhirnya waktu yang gue tunggu bakal kejadian juga.” Cerin girang.
            “Gue juga. Eh Cher, gimana kalo’ besok kita hunting gaun bareng?”
            “Oke.” Mereka bertoss ria dan tanpa sengaja Juile nabrak seseorang saking asik bercandanya. Juile roboh ke orang yang menabraknya karena tubuhnya nggak seimbang dan kaget. Mata mereka berpandangan beberapa saat.
            “Rimo.” Juile berkata dengan tidak sadar. Sementara Cerin dan Andi yang menyaksikan kejadian tersebut hanya bengong dan bingung.
            “Jui.” Kata cowok itu. Lalu Juile sadar dan melepaskan diri dari tangan Rimo yang menopangnya. Mereka saling salting.
            Eh… sori, gue nggak sengaja.” Rimo minta maaf.
“Nggak apa-apa kok, justru gue yang jalannya nggak liat-liat.” Rimo hanya tersenyum.
            “Gue duluan ya.” Kata Juile sambil narik tangan Cerin pergi dari sana. Rimo masih diam di tempat dan memandangi cewek cantik yang bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang yang mulai menghilang di ujung koridor.
            “Woi! ayo buruan. Gue udah laper banget nih.” Seru Andi sambil menepuk pundak Rimo dan itu membuat Rimo kaget.
            “Apaan sih lu Ndi.”
            “Ngapain sih lo bengong, jangan-jangan nih.” Kata Andi memandang jail ke Rimo.
            “Jangan berpikir macem-macem deh lo. Jangan-jangan apa?”
            “Ehm, lo suka ya?”
            “Suka apanya?” Rimo balik tanya.
            “Alah, kalo’ lo suka bilang aja! Dia masih jomblo kok. Lagian kayaknya lo cocok deh sama dia. Klop juga Rimoi and Juile. Ha…ha…” Andi cekikikan, Rimo nggak merespon Andi, ia melenggang cepat ninggalin Andi yang masih cekikikan.
            “Eh, Rim tungguin gue!” Andi mengejar Rimo.
***
            Siang itu setelah pulang sekolah Juile dan Cerin pergi ke mall dengan honda jazz item milik Juile. Sambil dengerin lagu Love Story-nya Tylor Swift, lagu favorit mereka. Di bagian chorus mereka bernyanyi bersama dengan keras. Suaranya yang merdu membuat orang-orang yang ngedenger mesti tutup kuping. Walaupun mereka di dalam mobil, tapi suaranya kedengeran sama pengendara lain sampai-sampai polisi lalu lintas hampir menilang mereka, beruntung lampu lalu lintas cepet ijo.
Romeo take me somewhere, we can be alone.
I’ll be waiting
, all there’s left to do is run.
You’ll be the prince and I’ll be the princess.
It’s a love story, baby, just say yes
.
Romeo save me, they’re trying to tell me how to feel.
This love is difficult, but it’s real.
Don’t be afraid, we’ll make it out of this mess.
It’s a love story, baby, just say yes.
Oh, Oh.
            Juile memarkirkan mobilnya dan mereka langsung menyerbu ke setiap penjuru mall. Juile melihat sebuah dress warna biru yang anggun dan memutuskan untuk membelinya, sementara Cerin memilih dress warna merah tua yang terkesan exotic. Setelah puas mereka pulang ke rumah untuk siap-siap ke prom night malamnya.
***
            “Aduh anak Mama, cakep bener. Mau kemana sih?” tanya Mama Rimo kepada anak bungsu tercintanya. Rimo menggunakan kemeja biru muda dan jas hitam. Rimo emang cakep, dia juga sempat jadi model cover boy waktu kelas sepuluh. Tapi Rimo berhenti jadi model, karena katanya pengin fokus sama sekolah dulu. Makanya itu dia selalu jadi bintang kelas. Mamanya menyayangkannya, karena beliau yang ngebet banget biar anaknya tu jadi model.
            “Prom night Ma.” Jawab Rimo singkat.
            “Kok kamu nggak bilang-bilang sama Mama sih!, kan Mama bisa nyiapin kostum yang pas buat kamu.”
            “Ya maaf deh, lagian Rimo juga udah nyaman kok pake yang ini.”
            “Okay, terserah kamu aja deh. Jangan lupa nyari Juliet yah sayang.” Goda Mamanya.
            “Mama apaan sih!”
            “Lho, harus dong! kamu tuh harus menikmati masa muda kamu. Mama tu pengin liat kamu punya pacar.” Kata Mama Rimo, seperti biasanya Rimo cuma senyum nanggepin pemintaan mamanya.
            “Udah dulu ya Ma!, Rimo berangkat.”
            “Ya udah, hati-hati ya sayang.” Pesan Mama.
            Rimo pergi dengan taruna silvernya.
            Suasana di aula sekolah malam itu sangat ramai  dan gemerlapan dengan cahaya lampu-lampu panggung. Aula tersebut ditata sedemikian rupa layaknya tempat pesta. Peserta prom night yang ada disana memakai topeng, tidak terkecuali pembawa acara. Acara dimulai dan semua merapat ke panggung mendengarkan instruksi dari MC. Setelah kepala sekolah berpidato dan acara dibuka secara resmi. Tibalah acara inti yaitu dansa. Namun ada yang beda, mereka diharuskan mencari pasangan pada saat prom night alias mendadak. Musik mulai dimainkan dan semua orang yang ada disana berpencar mencari pasangan. Juile kelihatan bingung, berdiri sambil celingukan sana sini. Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundaknya, Juile kaget dan balik badan. Seseorang bertubuh tegap dan tinggi, cowok itu mengulurkan tangannya. Tanpa pikir panjang Juile menyambut uluran tangan tersebut. Lalu mereka berdansa, awalnya Juile agak canggung berdansa dengan orang yang tidak dikenalnya. Tapi akhirnya Juile menikmati juga. Lagu Common Denominator dan First Dance Justin Bieber meneggelamkan mereka dalam dansa yang sangat romantis. Juile menyandarkan kepalanya di dada cowok itu. Musik berhenti dan otomatis semua orang berhenti berdansa. Beberapa orang kecewa karena musiknya terhenti.
            “Iya, itu dia tadi musik yang begitu menggoda dan mempesona. Itu baru musik pembuka dan hanya untuk pemilihan prince and princess prom night.” MC perempuan mulai bercekcok.
            “Dan setelah kami amati, ternyata ada satu pasangan yang berhak menjadi prince and princess.”
            “Oke, dan sekarang yang menjadi prince and princess kali ini adalah…” MC tersebut tidak melanjutkan perkataannya.
            Semua peserta harap-harap cemas menanti sang MC mengumumkan siapa pemenangnya. Diam dan hening, tiba-tiba lampunya mati, beberapa cewek menjerit. Tidak terkecuali Juile, dengan nggak sadar Juile memeluk cowok yang tadi jadi pasangan dansanya. Ketika itu sebuah lampu penerang menyoroti mereka berdua, dan seketika itu pula MC mengumumkan bahwa pemenangnya adalah mereka berdua. Juile agak kaget dan salting, mereka melepaskan pelukan. Peserta prom night bertepuk tangan, suasana menjadi sangat ramai. Lalu mereka berdua menaiki panggung, menerima mahkota prince and princess. Setelah itu musik kembali dinyalakan, Juile dan cowok itu kembali berdansa di atas panggung.
Acara prom night pun selesai jam 10 malam. Semua peserta bubar, mereka belum melepaskan topengnya masing-masing. Juile keluar dari aula, sekali lagi ada seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
“Ikut gue yuk!” ajak orang itu. Cowok yang tadi dansa sama Juile.
“Lo siapa?” tanya Juile. Cowok itu nggak ngejawab pertanyaan Juile. Dia terus menarik Juile dan memasukkan Juile ke dalam mobilnya, Juile nyoba buat berontak tapi orang itu lebih kuat mencengkramnya, Juile pasrah. Terlebih juga Juile udah lumayan ngantuk.
Mobil itu terus melaju dan setelah sampai di sebuah taman  dekat pantai baru berhenti.  Cowok itu keluar dan Juile menyusulnya.
“Eh, lo tu siapa sih sebenernya? ngapain lo bawa gue kesini?” Juile marah. Cowok itu berjalan dengan cepat dan berhenti di atas ubin batu yang membatasi air laut. Pemandangannya sangat indah, air laut gemerlapan ditimpa cahaya bulan purnama yang begitu indah. Dengan nafas terengah-engah Juile mengejar cowok itu.
“Jawab dong! lo tuh siapa? Braninya bawa-bawa gue kesini!” cowok itu tetep nggak ngerespon. Juile tambah emosi.
“Lo tuh budek ato apa sih?” Juile udah capek dan nggak pengin ribut lagi. Dia ngglosor ke bawah. Menikmati suara deburan ombak di malam hari. Beberapa saat kemudian.
“Buktinya lo mau kan gue ajak kesini?” cowok itu membuka topengnya dan balik badan mendekati Juile. Juile berdiri, ia kaget. Wajah  yang sangat dikenalnya. Rimo!. Juile gugup dan deg-degan dibuatnya.
            “Elo! ngapain lo…” belum sempat Juile melanjutkan kata-katanya Rimo langsung memeluknya.
            “Makasih ya Jui. Lo udah bikin gue seneng malam ini. Gue nggak nyangka kita bakal ketemu lagi sama elo disini. Udah lama gue pengin ketemu sama elo. Gue kangen banget sama elo.”
            Juile nggak menjawab, Juile malah nangis karena baru inget kalau Rimo yang mendekapnya itu adalah Rimo temen sepermainannya dulu.
            “Mungkin ini saat yang paling tepat buat ngungkapin perasaan gue ke elo selama ini. Gue cinta sama lo Jui.” Kata Rimo kemudian.
            “Dan gue pengin lo jadi pacar gue.” Lanjutnya. Lalu Rimo melepaskan pelukannya, menyeka airmata di pipi Juile. Rimo tersenyum, begitu juga dengan Juile walaupun di pelupuk matanya masih menguraikan air mata. Juile mengangguk malu-malu. Rimo mengangkat dagu Juile untuk menciumnya, pada saat itu ponsel Juile berbunyi. 
                                                                                        ***

Love and Friendship

Dari pada nih cerpen nganggur, mendingan posting aja deh disni. Selamat membacaa... abis itu kasih komentar yaahh_ :)




LOVE AND FRIENDSHIP

Daun-daun berguguran diterpa angin yang diiringi oleh sinar kuning kemerahan di ufuk barat. Semerbak karangan bunga yang segarpun masih dirasakan. Terpampang sebuah kayu persegi panjang yang bertuliskan “Vyandra Alvano, 13 September 1991-7 Desember 2010”. Xeina, itulah nama seorang gadis yang sedari tadi menangis dan memeluk benda putih bercorak hitam tersebut. Meratapinya dengan penuh sesal, hatinya begitu teriris saat mengingat hari kemarin. Ia telah mengecewakannya. Langitpun seolah-olah ikut berbela sungkawa atas kepergiannya. Sangat singkat dan mendadak. Tiada seorangpun yang mengira Vyandra, seorang atlet basketball yang notabennya gagah itu harus meninggalkan dunia secepat ini. Namun tidak hanya itu dia menangis, memang sesal di akhir tiadalah berguna. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, tak bisa dipungkiri kalau dia memang mempunyai perasaan yang sama terhadap Vyandra.
“Vyan, kenapa harus secepat ini?, kenapa… Aku nyesel Vyan, aku nyesel….maafin aku Vyan, aku nggak bisa buat kamu ngerasa bahagia di saat terakhir kamu… karena aku nggak nyangka kamu bakal pergi secepet ini.” katanya dengan terisak-isak.
Teringat dalam memori otaknya…

Sabtu, 4 Desember 2010,
“Xei, besok lo ada acara nggak?” tanya Vyan sambil menepuk pundak Xeina dari belakang dan itu membuatnya terkejut.
“Eh Vy!, ng…gue…, kayaknya besok gue mesti nganterin nyokap gue shoping gitu deh, emang kenapa?”
“Xei, gue mohon lo mau gasih kesempatan sekali… aja,”  Vyan memohon.
“Aduh, gimana ya!” Xenia mencoba mengelak.
“Pliss….” Xenia tidak tega dengan Vyan yang memohon kepadanya, dia pun mau. Sebenarnya dia senang sekali dengan tawaran Vyon, ia hanya berusaha menyembunyikan perasaan senangnya.

Minggu 5 Desember 2010,
Di sebuah gedung tua yang rusak dan sudah lama tidak dipakai, menjadi tempat yang strategis untuk menenangkan diri. Di lantai paling atas bisa untuk melihat pemandangan kota yang ramai dan gemerlap saat malam hari. Sepuluh menit,lima belas menit, tiga puluh menit, dan satu jam sudah Vyan menunggu Xenia, tetapi ia tak kunjung  datang. Namun Vyan msih berharap tambatan hatinya itu akan menepati janjinya walaupun tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan datang. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekati Vyan, Xenia!, ia kelihatan tergesa-gesa.
“Vyon sorry gue telat, tadi di jalan macet banget,” Xenia sedikit beralasan.
“Nggak apa-apa kok, walaupun seribu tahun lagi gue harus nunggu lo disini gue bakal nglakuin itu.”
Deg!!, hati Xenia sungguh teriris ketika ingat kata-kata itu. Ia hanya terpaku memandang Vyan yang entah kenapa hari ini ia terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya nampak pucat.
            “Vy, lo sakit ya?” tanya Xenia kepada Vyan.
            “Nggak,” jawab Vyan singkat tanpa memandang Xenia, menerawang ke langit biru yang dihiasi awan putih yang menari-nari. Kemudian hening kembali, hanyalah suasana hiruk pikuk kota dan deru mobil yang terdengar samar-samar. Beberapa menit kemudian, suara Vyan memecah keheningan.
            “Xei, mungkin lo udah tau apa maksud gue ngajakin lo kesini dan lo pasti udah bosen banget.” Kata Vyan sambil memainkan kalung yang berliontinkan sebuah benda berbentuk love.
            “Tapi gue nggak kan menyerah, gue akan berusaha dan menanti sampe lo mau nerima  gue,” ia menambahkan.
            Xenia diam, melamun. Membayangkan apa yang sebenarnya menjadi penghalangnya untuk menerima Vyan. Cintya, ya Cintya. Ia adalah sahabat karibnya Xenia. Mereka juga tinggal dalam satu kost. Cintya sangat mengagumi Vyandra, dan dimana saja mereka bertemu Cintya akan bercerita tentang Vyandra. Ia tidak ingin mengecewakan sahabatnya itu, ia tidak pernah bilang dengan Cintya kalau Vyan mencintainya. Sekarang, Cintya terbaring lemah di rumah sakit karena gagal ginjal yang di deritanya. Dan Vyan sudah tahu hal tersebut.
            “Xeina…” panggil Vyan dengan suara yang lembut.
            “Ehhhh Vy…” Xeina tersadar dari lamunannya.
            “Lo kenapa?” tanya Vyan.
            “Ng…gue ng-gak pa-pa kok,” jawab Xeina agak gugup.
            “Terus gimana?”
            “Gimana, gimana apanya?” Xeina balik bertanya pura-pura bingung. Vyan menatapnya dalam-dalam.
            “Xeina…” panggil Vyan sekali lagi.
            “Ng….gue, gue… Cintya Vy…” Xeina berkata dengan tergagap.
            “Gue tahu lo sahabatan sama Cintya tapi bukan berarti lo harus ngorbain semuanya buat dya. Termasuk cinta elo!” Vyan berkata dengan nada tinggi.
Suasana kembali hening. Vyan kembali menerawang ke langit.
            “Gue tau lo juga punya perasaan yang sama ke gue. Gue sayang banget sama elo Xei, bukannya gue egois tapi gue emang bener-bener nggak bisa hidup tanpa lo, gue mohon Xei!”
            “Tapi gue bener-bener nggak bisa Vy, gue…gu…gu…e...” Xenia sudah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Ia hanya menunduk, menahan tangis. Vyan mendekap Xenia ke dalam pelukannya.
            “Maafin gue Xei, sekali lagi bukannya gue egois dan pengin menang sendiri. Tapi gue emang bener-bener sayang ama lo, bukan Cintya. Asal lo tahu, sesulit apapun rintangan yang ngehalangin gue buat ngedapetin elo. Gue akan ngelakuin itu semua.” Vyan melepaskan pelukannya.
            “Gue harap besok gue bakal ngeliat lo pake kalung ini sebagai tanda kalo’ lo mau nerima gue,” kata Vyan sambil memberikan kalung yang dimain-mainkannya tadi. Lalu ia berlalu, sementara pikiran Xenia tambah kalut. Ia bingung dengan siapa yang harus ia pilih, sahabat atau cintanya.

            Senin 6 Desember 2010,
            Xenia bangun kesiangan gara-gara semalaman suntuk ia tidak tidur memikirkan hal yang sama. Alhasil ia lupa membawa kalung yang diberi oleh Vyan tadi sore, ia sudah memutuskan untuk memilih cintanya. Tetapi ia baru tersadar saat bel pulang sekolah berbunyi. Ia berjalan dengan resah dan gelisah, ia tidak tahu harus bicara apa dengan Vyan.
            “Xeina…” ada sebuah suara yang sangat ia kenal memanggil namanya. Vyan!, pikirannya tambah kalut. Ia membalikkan badannya.
            “Vyan!”
            Vyan tidak menjawab, ia memperhatikan leher Xeina dan nampak jelas gurat kecewa di wajahnya . Xeina sadar, ia gugup.
            “Vy,gue bisa jelasin ini sem…” belum selesai Xeina bicara Vyan sudah memotongnya.
            “Gue udah tau lo nggak bakal pake kalung itu. Harusnya gue sadar kalo’ lo nggak akan pernah nerima gue,” Vyan berlalu dengan sangat cepat.
            “Vy, tunggu Vy…” Xenia berlari mengejar Vyan. Namun ia kurang cepat, mobil yang dikendarai Vyan sudah melesat dengan kecepatan yang sangat dahsyat. Xenia terduduk lemas dan menangis. Tidak tahu kenapa tiba-tiba perasaannya tidak enak.
“APAA??!!”
’Brakkkk!!!’,suara handphone terjatuh di lantai.
            “Nggak mungkin, nggak mungkin!” Xenia menangis terisak-isak. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat berat, seperti mengangkat beban berton-ton. Lalu ia melihat bintang-bintang di atas kepalanya dan di antara bintang-bintang itu ada secercah cahaya yang begitu terang, lalu cahaya itu dengan cepat menghilang, gelap.
***
            Langit mulai meneteskan airnya, rintik-rintik mulai membasahi tubuh Xenia, namun ia belum berhenti dari tangisnya. Ia mencium kalung yang diberi Vyan. Menyesal, sangat menyesal.
            “MAAFIN GUE VYAN, MAAFIN GUE!, GUE CINTA SAMA LO, GUE SAYANG SAMA LO!, LO DENGER KAN?!” Xeina menatap ke langit.
            Tiba-tiba ada yang nenubruknya dari belakang, Cintya. Ia memeluknya erat-erat sambil menangis.
            “Maafin gue Xei…” kata Cintya sambil menangis tersedu-sedu. Xenia membalikkan badannya.
            “Cintya?!”
            “Maafin gue…” Cintya memohon.
            “Cin, kenapa lo minta maaf sama gue, lo kan nggak salah apa-apa.”
            “Tapi gara-gara gue ini semua terjadi. Coba kalo’ dari dulu lo ngomong sejujurnya sama gue, lo bilang kalo Vyan cinta sama lo. Lo tu nggak perlu ngorbanin semuanya demi gue, apa lagi cinta lo.”
            “Cin, lo ngomong apa sih?” Xenia mencoba bersikap tenang walaupun ia penasaran kenapa Cintya bisa tahu semuanya.
            “Gue udah tahu semuanya Xei…”
            “Cin, cinta tu bukan segalanya. Lo tu sahabat gue, gue sayang sama lo.”
“Udah lah…lo tu nggak perlu kaya gitu. Jadinya gini kan?, lo nggak dapet apa-apa hanya demi gue.”
            “Cin…udahlah, semua ini udah terjadi. Gimana lagi?, itu emang takdir.”
            “Tapi Xei…”
            “Udah Cin…ayo kita pergi dari sini, baju lo udah basah kuyup gini. Ntar kalo lo ujan-ujanan terus tambah sakit,” mereka melepaskan pelukannya.
“Maafin gue ya…” pinta Cintya sekali lagi, Xeina hanya tersenyum dan mengajaknya pulang.
***